Bismillah.
Assalamu'alaikum Warohmatullah...
Sumber : Majalah
Solusi No.48, Malaysia
Oleh : Umar
Muhammad Noor
(B.A Usuluddin
(Tafsir-Hadis) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Master Ushuluddin (Hadis)
di University Omm Durman, Sudan.)
Tulisan ini edit ulang saat saya diberi kesempatan untuk menyampaikan Kultum di Usroh rutin kami... semoga bermanfaat...
______
Kisah ini ditempat di
Kota Madinah. Terdapat seorang pelajar yang berasal dari Andalusia bernama
Al-Ghazi bin Qais, beliau datang ke Madinah untuk menimba ilmu dari para ulama
di kota itu. Sebelum ini, beliau sering mendengar kehebatan ulama Madinah,
namun belum pernah berjumpa dengan mereka.
Pada
suatu hari ketika sedang duduk di Masjid Nabawi di Madinah, al-Ghazi melihat
seorang lelaki masuk kedalam masjid. Lelaki itu langsung duduk tanpa menunaikan
sholat sunat tahiyatul masjid
terlebih dahulu.
Al-Ghazi
segera menegur lelaki tersebut : “Wahai akhi, bangkit dan sholatlah dua rakaat.
Duduk di dalam masjid tanpa melakukan sholat tahiyatul masjid adalah pertanda bahwa engkau adalah orang yang
jahil (buta) dengan hukum agama.”
Nasihat
itu didengar dan diucapkan cukup kasar. Namun begitu, orang yang dinasihati itu
tidak berkata apa-apa. Beliau hanya bangkiy lalu melakukan sholat seperti yang
disuruh. Selesai sholat, beliau duduk bersandar disebuah tiang masjid. Tidak
lama kemudian, al-Ghazi melihat para pelajar mulai memasuki masjid. Anehnya,
satu demi satu mereka mengelilingi lelaki yang ditegurnya tadi sehingga
terbentuk satu kelompok yang cukup besar.
Al-ghazi
bertanya-tanya, siapakah lelaki ini sebenarnya? Lalu beliau mendekati seorang
murid dan bertanya kepada: “siapakah org ini?” murid tersebut menjawab :”Dia
Ibn Abi Zi’b panggilan untuk Imam Muhammad bin Abd al-Rahman Al-Qurashi. beliau
seorang imam pakar fiqah dan tokoh ulama yang dihormati dimadinah.”
Al-Ghazi bagai disambar petir. Dia merasa sangat malu
karena baru saja mencela seorang ulama besar Madinah. Lalu beliau segera
mendatangi Ibn Abi Zi’b dan meminta maaf kepadanya. Namun, apa respons sang
ulama besar ini? Beliau hanya berkata: “Wahai akhi, engkau tidaklah salah.
Engkau hanya menyuruhku melakukan kebaikan, lalu aku mematuhi perintahmu.”
Ketika membaca atau
mendengar kisah ini pastinya kita semua memiliki kekaguman yang luar biasa
kepada Ibn Abi Zi’b. beliau sangat pandai menundukkan nafsu sehingga emosinya
menuruti perintah akalnya. Tentunya akal yang berfikir berlandaskan nilai-nilai
keislaman. Ketika nasihat diberi, ia terdengar berat dan kasar di telinga dan
dihati. Kebanyakan orang pasti enggan menerima nasihat yang disampaikan dengan
cara seperti itu. Namun Ibn Abi Zi’b bias menerimanya. Mengapa? Karena beliau
melihat isi kandungan nasihat tersebut, bukan kepada orang yang memberi nasihat
atau cara nasihat itu disampaikan.
Mungkin
kita yang awam ini, akan merasa kesal jika diberi nasihat, apalagi jika si
pemberi nasihat itu adalah orang yang seumur dengan kita, atau bahkan mereka
yang lebih muda usianya, pengalamannya, strata pendidikannya dibanding kita. Na’udzubillah.. Namun, jika kita melihat
dari inti pai nasihat itu, kita pasti merasa sebagai orang yang paling
beruntung karena nasihat itulah yang menyadarkan kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam diri, lalu mendorong kita utk menutupinya.
Oleh
karenanya, para Solihin tidak pernah merasa cukup dari nasihat. Semakin banyak
nasihat yang mereka dengar, semakin bahagialah mereka. Semoga itu semua terjadi
pada kita semua. Aamiin….
Malah
bagi mereka. Nasihat merupakan tanda cinta yang dipersembahkan seorang saudara
kepada saudaranya.
Para ulama berkata : “Orang yang paling mencintaimu ialah orang
yang selalu menasihatimu.”. Al-Hasan al-Basri berkata :” saudaramu ialah orang yang selalu
menasihatimu. Dia lebih baik daripada orang yang membiarkan saja kamu melakukan
apa saja yang kamu kehendaki.”
Rasulullah
s.a.w pernah bersabda :
“Sombong adalah menolak kebenaran dan memandang
hina orang lain.” (HR. Muslim).
Imam
Muslim meriwayatkan pada suatu hari Rasulullah saw melihat seseorang makan
dengan tangan kirinya. Lalu, Nabi menasihatinya :” Makanlah dengan tangan
kanan.”. dengan angkuhnya, orang tersebut menjawab : Aku tidak bisa makan
dengan tangan kanan!”
Mendengar
jawaban angkuh itu, Rasulullah hanya bersabda : Ya, Engkau tidak bisa. Setelah itu, tangan orang itu tidak dapat
digunakan lagi untuk mengangkat suapan kemulutnya. Itulah tanda kesombongan dan
salah satu sifat munafik.
Berat menerima nasihat pertanda kejahilan
diri. Semakin jahil seseorang, semakin ia tidak membutuhkan nasihat. Lebih
jahil daripada itu, orang tersebut selalu melihat nasihat sebagai celaan untuk
dirinya.
Apabila mendengar nasihat ---- merasa
diri dihina. Bukan hanya enggan menerima nasihat itu, malah sengaja melakukan
perbuatan yang bertentangan dengannya yang bertujuan menyakiti hati orang yang
menawarkan nasihat tersebut! Ada pula orang yang kembali “menasihati” orang
yang memberi nasihat padanya, ataupun ada juga yang membalas nasihat itu dengan
celaan dan pukulan. Na’uzubillah.
Kesimpulan
Untuk
itu, ingatlah siapapun juga yang hendak memberi nasihat mestilah difikirkan.
Kita harus sadar bahwa nasihat itu sangat berat. Oleh sebab itu, jangan
diberatkan lagi dengan kata-kata kasar atau cara yang tidak baik. Hindarilah
sikap kasar al-Ghazi bin Qais. Jadilah orang yang memiliki kejernihan hati
seperti Ibn Abi Zi’b.
Setengah
orang bangga dengan sikapnya yang suka berterus terang. Dalihnya hanya ingin
menyampaikan kebenaran. Menurutnya sikap itu sejalan dengan sunnah. Padahal
hakikatnya, Rasulullah tidak pernah berkasar baik ucapan maupun perbuatan dalam
memberikan nasihat. Nabi tak pernah
menyalahkan orang dihadapannya, apalagi didepan khalayak ramai yang menjatuhkan
harga diri orang lain.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan : “Pada
suatu hari, seorang hadir di majelis Nabi saw dengan bekas minyak wangi
berwarna kuning dibajunya. Pada zaman itu, minyak wangi seperti ini hanya
dipakai oleh wanita. Beliau hanya berdiam diri karena tak mau berkata buruk
dihadapan orang ramai. Setelah orang itu pergi, Rasulullah berkata kepada para
sahabat :” beritahulanlah kepada orang itu agar ia menghilangkan bekas kuning
di bajunya.”
Semoga kita diberi kekuatan untuk
mencontoh akhlak Nabi Muhammad saw. Aamiin Ya Robbal ‘alamiin..
“Wal
‘Asri Innalinsanalafilhusr…
Illalladzi
na’anamuu wa amilussholihati..
Watawasoubilhaqq…watawasoubissobr…
“demi
masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian
Kecuali
orang –orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati
dalam kebenaran dan nasihat-menasihati dalam menetapi kesabaran. (Q.S Al-Ashr
:1-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar