Oleh Dinda Dewi Warsana
(Penulis adalah aktivis Jaringan Pemberdayaan Perempuan)
Berita di harian Sinar Harapan (15/12) tentang seorang ibu yang nekat membakar diri bersama kedua anaknya sungguh amat memilukan dan menyayat hati bangsa kita, terutama bagi kaum ibu yang terhimpit kemiskinan. Pasalnya, berita tragedi keluarga miskin ini menjadi stop press di hampir semua media massa, sehingga termasuk berita nasional. Diduga karena frustrasi akibat tekanan ekonomi, Ny. Jasih (30) nekat membakar diri bersama dua anaknya, Galang Ramadhan (6) dan Galuh 4). Peristiwa mengenaskan itu dilakukan Jasih di rumah kontrakan mereka di Jalan Lagoa Gang 3 Rt 15 Rw 01 Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Rabu (15) dini hari. Akibatnya, Galuh yang sedang menderita kanker otak meninggal di tempat. Jasih sendiri akhirnya meninggal pukul 07.00 setelah dirawat di Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara. Suaminya, Mahfud (32), kini hanya memiliki Galang Ramadhan yang masih sempat diselamatkan. Pertanyaannya, kemiskinan yang menghimpit rumah tangga haruskah membuat seorang ibu hilang akal sehatnya dan melarikan diri dari realitas hidup dengan bunuh diri?
Tentu saja tindak bunuh diri itu bukan jalan keluar terbaik, apa pun permasalahan yang sedang orang hadapi dalam hidup ini. Terlepas dari berbagai faktor yang dapat memicu orang melakukan tindak bunuh diri, kemiskinan memang merupakan faktor yang sering memicu orang untuk melakukan tindakan negatif lainnya: mencuri, menodong, menjambret, menipu, merampok, bahkan membunuh sesamanya. Tindak kriminal itu merupakan refleksi dari sikap egoisme yang jelas bersifat negatif, termasuk yang dialami para korban bunuh diri. Kehidupan individualisme ini, di era globalisasi merupakan gejala sosial yang sering muncul di tengah masyarakat modern. Eric Fromm dalam bukunya The Art of Loving menyatakan, orang-orang modern banyak yang terasing dari dirinya sendiri, dari sesamanya, dan dari alam. Mereka mau diubah menjadi komoditas. Mereka mengalami kekuatan hidupnya sebagai suatu investasi yang harus membawa laba maksimum bagi dirinya menurut syarat-syarat pasar yang ada. Yang dipikirkan dan diusahakan hanya keadilan bagi dirinya sendiri, menuntut persamaan, efisiensi, pemenuhan harapan, kesenangan hedonis, dan individualisme. Meski berpredikat ibu, mereka tak memahami arti penting dan indahnya sifat-sifat keibuan seperti sabar, melindungi, kasih sayang, ketulusan dalam memberi, kesetiaan total, tetapi tanpa pernah merasa kehilangan dirinya saat mencintai orang lain. Orang modern tak sedikit yang gelisah dan mencari sifat-sifat tersebut, namun kebanyakan gagal. Karena keputusasaan, kemudian muncul alkoholisme, ketagihan narkoba, kompulsi seksualitas, dan bunuh diri. Membangun sikap konstruktif Kasus bunuh diri tersebut di atas, telah menggambarkan dengan jelas bagaimana seorang ibu telah terlampau banyak kehilangan sifat-sifat keibuan, sampai tak sadar bahwa dirinya masih banyak dibutuhkan keluarga dalam kehidupan yang kian kompetitif ini.
Menumbuhkan sifat-sifat keibuan memang bukan suatu hal yang mudah, apalagi bagi kaum ibu yang sedang dilanda kemiskinan. Padahal, sifat-sifat keibuan melahirkan sikap konstruktif, dan sikap ini sebenarnya amat dibutuhkan setiap orang yang ingin membebaskan dirinya dari belenggu kemiskinan. Dengan sikap konstruktif, kemiskinan bukanlah momok kehidupan, tetapi sebagai tantangan dan uji nyali kepribadian, sehingga seseorang melihat peluang untuk mengatasi masalah. Ia tidak sudi terjerat secara psikis pada kekurangannya, tapi terfokus menggali kekuatan dari dalam dirinya sendiri, sehingga dalam mengatasi setiap kesulitan hidup, terutama masalah anak-anak, istri tak selalu bergantung pada kemampuan sang suami.
Sepasang suami-istri yang memiliki anak cerdas, apalagi genius, tentu membanggakan mereka. Tetapi pada masa kini, entah disadari atau tidak, kebanyakan kita telah terjerat oleh sikap mendewakan kepandaian, sehingga sangat kurang mengapresiasi kecerdasan emosi (EQ = Emotional Quotient), padahal EQ justru faktor kepribadian yang lebih berperan penting dalam menentukan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Jadi, suatu sikap tidak konstruktif jika seorang ibu hanya menghargai prestasi akademik anak, tetapi tidak memberi perhargaan bahkan bersikap tak acuh ketika anak mampu memberi jalan keluar kesulitan temannya atau senang menolong orang lain. Sebuah iklan susu untuk balita juga menunjukkan kehebatan anak dengan kriteria bisa menghitung perkalian, bukan kemampuan dia bersosialisasi dengan lingkungannya.
Ibu-ibu akan sangat bangga saat anaknya menjadi juara kelas, meski untuk mencapai prestasi itu ia harus belajar nonstop tanpa punya waktu untuk membantu orang tuanya menyapu, mencuci piring, dan sebagainya. Akibatnya, di dalam diri sang anak mulai tertanam anggapan bahwa prestasi publik lebih membanggakan daripada prestasi domestik, inteligensi kognitif lebih berharga daripada inteligensi emosional dan sosial.
Implementasi
Sifat-sifat keibuan, ternyata mampu mencetuskan EQ seseorang. Kecerdasan emosi ini telah dibuktikan para ahli dalam risetnya sebagai faktor kepribadian yang lebih menentukan kesuksesan dibanding kecerdasan otak (IQ = Intelligence Quotient) seseorang. Betapa banyak orang yang memiliki kecerdasan otak dengan nilai akademis tinggi, namun ternyata tak mampu memotivasi diri untuk berkarya, dan kalaupun berusaha di bidangnya cepat putus asa, mudah menyerah, sehingga yang sering didapat kegagalan. Sebaliknya, tak sedikit orang yang memiliki IQ sedang, tetapi karena mampu memotivasi diri dan pantang menyerah dalam mencapai cita-cita, akhirnya mereka meraih kesuksesan yang sangat signifikan. Dengan demikian, jika seorang ibu memiliki sifat-sifat keibuan dan mampu mengimplementasikannya dalam hidup keseharian, maka cepat atau lambat, juga mampu membebaskan diri dari kemiskinan, karena sifat-sifat keibuan memang mengarah pada pembentukan sikap mental (mental attitude) yang positif, konstruktif, dan produktif. Sikap mental positif tersebut jelas berpotensi untuk meraih kesuksesan yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan seseorang. Dengan sifat-sifat keibuannya, seorang ibu bukan hanya mampu memotivasi diri untuk hidup sukses dan bahagia, bahkan ia juga mampu memotivasi putra-putrinya agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Sifat-sifat keibuanlah yang mampu memotivasi seorang ibu sebagai pendidik sekaligus pengajar anak-anaknya. Bahkan, Dr Zakiah Daradjat, seorang ibu yang psikolog, mengatakan bahwa pendidikan anak sudah berlangsung sejak ia masih dalam kandungan. Implementasi sifat keibuan di sini adalah seorang istri yang hamil perlu berkomunikasi dengan jabang bayi sebelum ia dilahirkan, karena menurut hasil riset, sejak bayi dalam kandungan berumur tiga bulan secara psikis sudah memberikan respons terhadap pembicaraan maupun sikap ibu kandung yang ditujukan kepadanya. Hanya saja, seorang tokoh pendidikan dari Inggris, William Stern mengingatkan, bahwa anak-anak usia dini, apalagi bayi dalam kandungan, ibarat tabula rasa atau kertas putih bersih yang kondisinya sangat tergantung lingkungan terdekat. Jadi, sang ibu sebagai orang terdekat harus berhati-hati dalam ucapan dan perilakunya, agar si jabang bayi tidak terimbas hal-hal negatif. Artinya, jika seorang ibu menginginkan agar bayi yang dilahirkan kelak tumbuh sebagai anak yang memiliki EQ dan IQ tinggi, maka ia harus mengimplementasikan sifat-sifat keibuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar