Bismillah
Assalamu'alaikum Warohmatullah
"dunia anak adalah dunia yang penuh kepolosan,
namun, dari sinilah kita semua belajar, bahwa KEJUJURAN dan KETULUSAN
adalah kunci lahirnya KASIH dan CINTA...
Cintailah Anak-anak... karena kau akan temukan lembutnya hatimu disana.. :)
_____
“Sikap yang diharapkan oleh seorang anak dari orang dewasa adalah
sungguhnya sikap yang diinginkan oleh orang dewasa dari orang dewasa
lainnya. Kita semua ternyata adalah anak-anak jika tanpa kesediaan untuk
memahami, memaklumi, kemawasan hati dan pikiran terhadap perbaikan, dan
kemandirian atas integritas diri dan pilihan hidup.” (anonim)
Allah memberikan manusia banyak sekali pelajaran dari apa-apa yang Dia ciptakan, tak terkecuali pada anak-anak.
Siapakah mereka? Mereka adalah makhluk lemah yang berangsur-angsur
tumbuh dan menguat dengan membawa segudang potensi hidup, fisik, akal,
naluri, termasuk pula potensi fujur dan takwa, baik dan buruk yang juga
terus berkembang. Dan mereka menjajal tiap-tiap potensinya itu tanpa
dikenakan hisab atasnya. Semua coba-coba itu adalah proses belajar dan
masa persiapan yang tanpa raport. Sampai menstruasi dan mimpi datang
menyudahi masa kanak-kanak dan mengawali masa-masa taklif (terbebani
hukum) yang bukan lagi main-main.
Proses mereka tak ubahnya seperti masa orientasi siswa baru atau
masa ospek bagi calon mahasiswa. Namun masa orientasi ini tidak ditempuh
dalam jangka waktu satu dua pekan, tetapi memakan waktu bertahun-tahun.
Minimal 9 tahun dan maksimal 15 tahun, begitu sebagian ulama
berpendapat. Dan orang tua atau wali anak lah yang menjadi panitia
‘ospek’nya. Dengan lingkungan semesta sebagai tempat percobaannya.
Kemudian panitia lah manusia-manusia dewasa yang akan diberikan raport
penyelenggaraan masa ‘orientasi’ ini. Orang tua lah yang kelak dihisab
atas jalannya proses ini. Bukan mereka, anak-anak para peserta ‘ospek’.
Dalam perjalanannya, otot-otot juga tulang-tulang mereka yang
awalnya bahkan tak mampu untuk sekedar menegakkan kepala,
berangsur-angsur menguat, bahkan dapat jauh lebih kuat dari panitia
‘ospek’nya. Lisan mereka yang dulu bahkan tak mampu mengucapkan
a-i-u-e-o, kini fasih berorasi. Bahkan dalam bahasa yang beragam. Akal
mereka yang dulu sering kita asah dengan logika-logika, “kalau begini
bagaimana Dek, kalau begitu bagaimana Dek”, kini mampu mengkritik
kesalahan-kesalahan logika kita yang kadang sudah kadung mapan. Dan
potensi-potensi lainnya terus berkembang hari demi hari, kemampuan
mereka melakukan refleksi, merenung, membuat kesimpulan-kesimpulan,
berinteraksi dengan kawan-kawannya, bersosialisasi dengan lingkungannya,
berkarya ini dan itu, dan lain-lain masih sangat banyak.
Dan sekali lagi mereka tak dihisab atas prosesnya ini. Proses trial
and error, salah dan benar mereka. Dan sekali lagi kita lah
panitia-panitia masa orientasi yang akan ditanya; diorientasikan
kemanakah potensi-potensi hidup anak-anak kita yang berkembang terus
itu? Dijaga dalam kejernihan fitrahnya atau kita keruhkan dengan
tendensi nafsu yang menghinakan atau bahkan malah tidak kita pedulikan
hingga mereka kemrusung dalam jurang kesalahan. Na’udzubillahi
mindzalik. Wallahulmusta’an. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Ya, sebab tak jauh-jauh dari kehidupan kita kini betapa banyak anak
yang ketika baru saja menginjak akil baligh kemudian mencorengkan arang
pada muka orang tuanya. Ia bisa saja meninju sang panitia ‘ospek’
-orang tua- karena ia menganggap orientasi yang dilakukan kemarin sangat
menindas. Ada dendam tersimpan yang kemudian menemui jalannya untuk
tumpah. Mungkin dalam batinnya, dulu aku lemah, kamu kuat, aku tak mampu
berkutik di hadapanmu, tak mampu menegosiasikan ancaman-ancamanmu yang
tendensius itu, kini aku kuat dan kau melemah. Aku mampu berontak hari
ini. Masya Allah, naudzubillah min dzalik. Padahal masa orientasi baru
saja usai. Ketika seharusnya sang panitia memberikan selamat kepada
peserta ‘ospek’ atas suksesnya masa orientasi dan memberikan starting
tausiyah kepada para peserta itu -yang kini tak pantas lagi digelari
anak-anak- untuk menjalani hari-hari yang sebenarnya.
Allah Zat Yang Maha Rahman dan Maha Rahim, tak sudah-sudahnya
melimpahkan kasih sayangnya pada kita. Ia menjadikan perjalanan masa
kanak-kanak anak-anak kita sebagai perjalanan kita pula, perjalanan
pengujian amal-amal kita, siapakah yang paling baik amalnya. Anak-anak
itu teori sekaligus praktikum mata pelajaran biologi, psikologi,
sosiologi, dan idrak sillah billah, bahkan akuntansi dan lain-lain,
kemudian kelak kita menerima raport atas proses belajar kita itu.
Kepolosan celoteh mereka seharusnya menjadi cermin tempat kita
berkaca sejujur apa lisan kita bergerak ketika membersama atau ketika
tidak bersama mereka. Teriakan lantang dan gerak mereka yang tanpa henti
seharusnya menjadi pematri semangat bagi jiwa dan badan kita untuk
senantiasa beramal baik. Tatih-tatih mereka ketiga belajar berjalan
kemudian terjatuh dan bangkit kembali seharusnya menjadi pelajaran bagi
kita agar selalu mau memperbaiki apa-apa yang salah kemarin. Terlalu
banyak pelajaran jika kita mau mengambil pelajaran.
Kadang, kekeruhan jiwa kita ketika menghadapi mereka karena
ketidaksadaran kita bahwa mereka adalah makhluk-makhluk yang terus
tumbuh, tiap waktu mereka berubah. Mungkin karena kita teramat lelah
dengan amanah-amanah yang lain, hingga kita lalai dari perubahan itu.
Dan gagal memahami perubahan itu. Hingga salah ketika memberikan
orientasi.
Ketika mereka melakukan kesalahan. Kita kerap lupa bahwa mereka
dikarunia fujur dan takwa, namun masih tanpa hisab. Jadi, sangat wajar
jika mereka salah. Sangat-sangat wajar. Dan kita lah yang harus selalu
siap mengorbankan daya upaya untuk meluruskan kesalahan itu, karena kita
yang dewasa, kita yang harus lebih dulu mengerti dan memahami, karena
kitalah panitia ‘ospek’nya yang bertanggung jawab dan kelak akan
dihisab. Berat, ya terkadang memang berat. Tapi Allah mampu membuat
apapun yang terlihat berat.
Ketika mereka membuat prestasi. Kita kadang lalai memberikan
apresiasi. Malah kita kecilkan prestasinya karena menurut kita dia mampu
mencapai standar yang lebih tinggi lagi. Masya Allah. Ini pelajaran
bersyukur dan penanaman self esteem (penghargaan terhadap diri sendiri)
bagi mereka dan bagi kita pula. Percaya diri mereka bisa saja runtuh
seketika itu dan kita menjadi pihak yang paling bertanggung jawab, namun
tidak kita sadari. Na’udzubillahi mindzalik.
Padahal, jika kita merenung, sikap terbaik kita terhadap anak-anak
yang penuh pemakluman, kesediaan memahami, penerimaan yang tulus, lembut
namun tegas, tegas tapi tidak mencederai hati, hukuman yang menyadarkan
dan membangun, apresiasi yang wajar dengan penuh rasa syukur kepada
Allah, dukungan terhadap perbaikan diri adalah sikap-sikap yang kita
inginkan dari orang lain terhadap diri kita. Bukankah begitu?
Buktinya, kita yang bukan lagi anak-anak, kerap kali cengeng,
sehingga merengek-rengek, mengapa dia begini mereka begitu, mengapa
orang lain begitu pada saya, kok tega betul dia pada saya, kok bisa ya
mereka seperti itu, ya Allah mengapa begini, ya Allah mengapa begitu.
Pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya dapat kita dalami ketika ia masih
menari-nari di relung pikiran kita. Sebelum ia terlontar menjadi
rengekan yang membuat kita tak ubahnya seperti anak-anak. Kita bisa
tetap insyaf menggunakan semua potensi diri kita untuk brainstorming dan heartstorming.
Sehingga muncul kemampuan untuk memahami apapun yang ada di hadapan
kita, memakluminya, dan mengambil sikap menuju arah perbaikan dengan
tanpa mempedulikan kata-kata orang yang tidak peduli dengan keberkahan
jalan hidup kita. Wallahulmusta’an. Wallahu’alam.
Oleh: Ummu Mesia
Sumber : MuslimahZone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar